Skip to main content

4. Devin Sialan!




Gue menghempaskantubuh ke atas kasur. Rasanya hari ini benar-benar penat sekali.

Baru saja ingin memejamkan mata, namun bunyi dentingan di ponsel seketika langsung membuat gue membelalakkan mata kembali. Dengan malas, gue meraih ponsel yang tadi gue taruh di atas nakas dan melihat siapa yang mengirimi pesan. Saat gue baca siapa pengirim pesan itu, gue sedikit terkejut dan langsung mendudukkan badan. Pengirimnya tak lain adalah Kak Juna.



Natt,
Kamu jadi kan dateng ke acara ultah sepupu Kak Jun?



Itu pesan singkat yang Kak Juna kirim ke gue. Gue bingung.

Sejujurnya gue ingin pergi ke sana, tapi mengingat kejadian tadi, gue jadi sedikit ragu. Iya, tadi waktu gue baru pulang dari kampus, gue tak sengaja melihat Kak Juna tengah jalan bersama cewek lain. Gue sendiri tak tahu dia siapa, dan yang gue lihat Kak Juna menggenggam tangan gadis itu dengan erat.

Apa dia pacarnya? Entahlah, gue tak tahu. Itu kan bukan urusan gue juga. Tapi sejujurnya, hati gue merasa panas sendiri setelah melihat kejadian itu. Apa perlu gue bertanya langsung pada Kak Juna?

Akhirnya gue mulai mengetikkan pesan balasan untuk Kak Juna. Namun, belum selesai gue mengetik, terlihat ada sebuah pesan masuk lagi di ponsel gue. Akhirnya gue memilih untuk membuka pesan itu terlebih dahulu yang ternyata pesan dari Devin.



Donatt, makan yuk,
Gue laper!




Gue mendengus pelan, bisa-bisanya si Devin mau makan kok minta ke gue. Akhirnya gue memilih untuk membalas pesan dari Devin dulu.




Vin, kalo mau makan,
makan aja sendiri sono!
Jangan ganggu gue,
Gue ada urusan!




Tak butuh waktu yang lama Devin langsung membalas pesan dari gue kembali.




Sok sibuk lo!
Emang lo mau ke mana?


mau ke acara ultah sepupu Kak Jun


Sayangnya lo telat,
Sekarang gue udah di depan rumah lo!





Gue langsung berjingkat kaget melihat isi pesan dari Devin. Dia ada di depan rumah gue? Akhirnya gue berjalan ke arah jendela untuk mengecek apakah benar Devin ada di sini. Dan ternyata benar, dia sudah stand bye di depan rumah gue dengan motor sportnya. Sepertinya dia menyadari kalau gue melihatnya dari kamar gue yang berada di lantai atas. Buktinya sewaktu gue buka tirai, dia langsung melambaikan tangan ke arah gue. Gue menggerutu, akhirnya gue berjalan keluar untuk menemui Devin.


"Ngapain lo di sini?" tanya gue to the point setelah berada di hadapan Devin.

"Kan gue udah bilang di chat tadi," jawab Devin.

"Gue gak bisa Vivin, hari ini gue ada acara," balas gue lagi.

"Gak, gak bisa! Pokoknya lo harus pergi bareng gue, ayo!" ajak Devin sambil menarik tangan gue.

"Lo jangan kaya gini dong Vin, ahh!" seru gue dengan kesal.

Gue memang kesal. Ini bukan pertama kalinya Devin menggagalkan gue buat menemui Kak Juna, berkali-kali. Makanya sekarang gue benar-benar merasa kesal padanya.

"Nggak untuk kali ini ya, Vin?"

Gue lihat Devin tersenyum dipaksakan. Lalu tanpa ba bi bu, dia langsung memakaikan helm ke kepala gue dan menarik tangan gue untuk menaiki motornya.

"Ya! Devin! Lo apa-apaan sih!" bentak gue. Gue pun memberontak dan berusaha untuk menyingkirkan tangannya yang menggenggam pergelangan tangan gue dengan erat.

"Bentar aja Natt, serius deh gak akan lama," ujarnya memelas.

Anehnya, kalau melihat Devin yang memasang wajah memelas seperti itu, hati gue langsung luluh. Akhirnya dengan terpaksa gue mengiyakan ajakannya.

"15 menit, oke!"


🍁🍁🍁



Gue memandang jalanan di kota Jakarta lewat jendela cafe tempat gue dan Devin kunjungi. Sekarang gue dan Devin memang tengah berada di salah satu cafe tempat biasa geng squad kami nongki-nongki.

"Mau pesen apa?" tanya Devin. Sejujurnya gue masih sangat malas untuk berbicara dengan Devin.

"Terserah lo aja." Akhirnya gue berbicara seperlunya dan langsung diangguki oleh Devin.

Kami hanya saling diam beberapa saat sebelum pesanan kami datang. Entahlah, sekarang gue sedang malas sekali berbicara dengannya. Saat pesanan datang pun, gue dan Devin hanya saling menyantap makanan kami masing-masing tanpa ada yang memulai pembicaraan.

Gue sekilas memandang Devin, dia juga kenapa diam saja? Biasanya dia yang paling banyak bicara saat berdua seperti ini.

"Gue ke toilet dulu." Ucapan gue memecah keheningan di antara kami.

Gue lihat Devin mengangguk. Akhirnya gue melangkah ke toilet karena kebetulan gue memang sudah ingin buang air kecil sedari tadi. Setelah dirasa puas berada di toilet, akhirnya gue kembali lagi. Dapat gue lihat wajah Devin sekarang sudah sedikit terlihat cerah tak seperti tadi.

"Habis dari sini, Dio nyuruh kita buat dateng ke rumahnya. Katanya ada acara empat bulanan kakaknya gitu," ucap Devin, tak lupa ia menunjukkan cengiran khasnya seperti biasa.

"Oke," jawab gue sembari langsung memposisikan duduk kembali.

Baru saja gue hendak memasukkan makanan ke mulut lagi, gue teringat sesuatu. "Astaga! Gue kan harus ke acara ultah sepupu Kak Jun, gue harus pulang sekarang. Titip salam buat Dio, bilang gue gak bisa dateng ke rumahnya," ucap gue sambil bersiap-siap melangkah pergi namun segera dicegah kembali oleh Devin.

"Gak usah!" larang Devin.

Gue berdecak pelan. "Jangan halangi gue lagi Vin, lo kan tadi janjinya juga cuma sebentar. Jadi, sekarang gue harus pergi," ucap gue sambil melangkah pergi.

Namun Devin malah ikut bangkit dan kembali menarik tangan gue. "Gak usah Natt, tadi pas lo di toilet kebetulan dia nelfon lo, ya udah gue yang angkat. Katanya lo gak usah ke sana, toh sekarang acaranya juga udah selesai."

"Serius lo?" tanya gue memastikan. Karena bisa saja kan Devin berbohong.

"Gue serius, ya elah! Lo gak percaya sama gue?" tanya Devin.

Gue mendengus pelan. "Iya, gue percaya!"

"Ya udah, kalo gitu duduk lagi. Lanjutin makannya."

Gue pun cuma menuruti perintah Devin. Setelah selesai acara makan, kami akhirnya pergi ke rumah Dio. Sejujurnya gue kesal juga sama Dio. Dia mengundang kami telat banget. Seharusnya kan dia bilangnya sebelum gue makan bareng Devin. Seenggaknya duit jatah makan tadi akan tetap utuh, secara di sana kan makannya gratis. Karena sejujurnya, makan gartis itu rasanya 100 persen lebih nikmat daripada makan dengan mengeluarkan duit sendiri. Gue juga bisa irit dompet pula kan? Tapi biarlah, toh tadi makan bareng Devin juga Devin yang bayar bukan gue.


🍁🍁🍁


Gue melangkahkan kaki menuju kamar tidur setelah tadi pulang dari rumah Dio dengan diantar Devin. Gue sampai lupa, dari tadi gue belum mandi. Gue terakhir mandi waktu pagi, dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Gue mendengus kesal, ini gara-gara Devin. Dia yang tadi memaksa gue pergi. Tadi waktu acara syukuran di rumah Dio mereka yang berada di sekitar gue merasa bau tidak ya? Gue kan sudah mengeluarkan banyak keringat hari ini, Apalagi waktu membersihkan perpustakaan. Ahh, gue malu banget! Gimana kalau mereka yang berada di sekitar gue sebenarnya risih gara-gara gue bau badan? Gue menjambak rambut gue sendiri. Gue benar-benar malu!

Akhirnya gue melangkah ke arah kamar mandi dan mulai membasahi tubuh dengan air. Setelah dirasa bersih, akhirnya gue segera keluar dari kamar mandi dan segera memakai piyama tidur. Karena merasa haus, gue turun ke bawah untuk mengambil minum.

Baru saja gue meneguk sedikit minum, gue dikejutkan dengan suara langkah seseorang yang berada di belakang gue. Gue otomatis langsung menoleh. Dan kini, gue sukses meneguk saliva dengan berat begitu menyadari siapa orang itu.

"Mama...," ucap gue pelan. Gue lihat dia melangkah mendekat ke arah lemari es dan mulai mengambil botol minum. Oke, untuk kali ini, seenggaknya Mama nggak menghindari gue seperti biasanya. Walaupun dia tetap enggan untuk berbicara dengan gue.

"Mama haus?" tanya gue keceplosan. Bodoh! Gue benar-benar bodoh. Jelas-jelas dia mengambil air minum, dan itu berarti saat ini dia tengah haus, kan? Mana mungkin ia lapar. Gue akhirnya hanya bisa merutuki kebodohan gue sendiri.

Dan seperti biasa, Mama pergi begitu saja. Pergi seolah dirinya tidak melihat keberadaan gue. Saat Mama melangkah menjauh, gue lihat dia berpapasan dengan kakak laki-laki gue.

"Baru pulang sayang?" Gue dengar dia berbicara dengan lembut pada Kak Andrew. Sebenarnya gue sudah sering melihat ini, melihat bagaimana kelembutan Mama saat berbicara dengan kedua kakak gue dan gue mencoba untuk tidak perduli. Namun tetap saja, hati gue tetap terasa nyeri.

"Iya Ma, Mama ngapain di dapur? Habis minum?" Gue dengar Kak Andrew bertanya pada Mama.

Mama mengangguk. "Mm... Mama ke kamar dulu, ya," ucapnya sambil mengelus kepala Kak Andrew pelan. Setelah itu Mama pergi menuju kamarnya dan Kak Andrew melangkah ke arah gue. Sepertinya Kak Andrew juga baru menyadari keberadaan gue.

"Ehh? Adek belum tidur juga?" tanyanya sambil mengambil botol air di tangan gue lalu meneguk sisa air minumnya sampai habis.

Gue menggerutu. "Itu minum gue Kak, kenapa dihabisin?"

Kak Andrew hanya tersenyum miring sambil mengacak-acak rambut gue, "Ambil lagi aja. Kakak capek, mau tidur. Dadah...," ucapnya sambil melangkah pergi juga menuju kamarnya.

Gue tersenyum tipis. Semua anggota keluarga gue menyayangi gue. Tapi, kenapa Mama nggak?


🍁🍁🍁



Hari ini kebetulan gue ada kelas siang. Jadi sekarang gue tengah stand by di depan tv sambil menyeruput segelas jus yang tadi Kak Sica buatkan.

"Lo gak ngampus?" tanya Kak Sica yang langsung duduk di sebelah gue.

"Nanti agak siang. Kak Sica sendiri ngapain di sini? Gak pemotretan?" gue bertanya balik padanya.

"Nggak. Hari ini libur," jawab Kak Sica.

Gue hanya mengangguk sambil membulatkan mulut membentuk huruf O, lalu fokus kembali ke layar televisi yang saat ini tengah menayangkan acara gosip selebriti.

"Pagi-pagi udah nontonin gosip!" celetuk Kak Andrew yang langsung ikut duduk juga di sebelah gue. Jadi sekarang posisinya gue duduk di tengah, sementara di sebelah kanan-kiri gue ada Kak Andrew dan Kak Jessica.

"Lo sendiri ngapain ikutan?" tanya gue dan langsung dihadiahi jitakan di kepala gue. "Sialan! Kenapa gue dijitak. Sakit tau!" Gue menggerutu sambil mengerucutkan bibir.

"Itu hadiah buat lo karna lo udah ngomong gak sopan sama gue," jawab Kak Andrew. Dan dia langsung menyeruput segelas jus milik gue yang tadi sudah gue letakkan di atas meja. Itu kebiasaan Kak Andrew, dia selalu seenaknya memakan atau meminum milik orang lain.

"Jus gue kenapa lo minum?" seru gue lagi dan berakhirlah dengan kepala gue yang kembali dijitak olehya. Iya, gue lupa tak memanggilnya dengan sebutan kakak, makanya dia menjitak gue sekarang.

Gue semakin menekuk bibir lalu mengalihkan pandangan ke arah kamar Mama yang mulai terbuka. Terlihat Mama yang sudah berpakaian rapi saat masih pagi seperti ini. Sepertinya ia hendak pergi ke suatu tempat.

"Mama mau ke mana? Kok masih pagi udah mau pergi?" tanya Kak Sica yang langsung menghampiri Mama.

"Mama mau ke rumah temen," jawabnya sambil mengelus rambut Kak Sica dengan penuh kasih sayang. Cih! Dengan penuh kasih sayang. Sama gue sih, nggak pernah.

Seharusnya gue yang notabene-nya anak bungsu yang harusnya lebih disayang. Tapi ini, nggak sama sekali. Malah kesannya, gue seperti dibenci olehnya. Akhirnya gue memilih untuk mengalihkan pandangan gue ke layar televisi. Gue nggak memperdulikan obrolan yang terjadi antara Kak sica dan juga Mama.

Gue melirik Kak Andrew sekilas. Dan ternyata Kak Andrew juga tengah menatap gue dengan tatapan yang menurut gue teramat dalam. Biasanya, Kak Andrew juga akan ikut menghampiri Mama, tapi kali ini tidak. Mungkin ia ingin menjaga perasaan gue. Ingin sekali gue bilang di depan wajah Kak Andrew sekarang juga kalau dia gak usah menjaga perasaan gue. Toh, perasaan gue dari dulu sudah hancur oleh fakta tentang Mama yang membenci gue.

"Ngampus jam berapa?" tanya Kak Andrew.

"Jam sembilan." Gue menjawab tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari layar televisi.

"Kakak antar, ya?" ujarnya menawarkan.

"Gak usah. Gue berangkat bareng Adin," jawab gue lalu langsung bangkit berdiri. "Gue mandi dulu," lanjut gue yang langsung melangkah pergi meninggalkan ruang Tv.

Entahlah! Untuk saat ini, gue seperti benar-benar benci dengan semuanya. Dan gue rasa, mood gue hari ini benar-benar sudah rusak dengan kejadian tadi.


🍁🍁🍁



Gue berangkat dengan dijemput Adin. Kebetulan karena kita satu fakultas, makanya jam masuk kelas kita berbarengan. Dan kebetulan juga, Adin sudah tak marah lagi ke gue. Ingat kan, Waktu itu dia marah gara-gara gue memanggilnya dengan nama aslinya, Syarifudin.

"Kenapa lo gak bawa mobil?" tanya Adin sambil memberikan helm pada gue.

"Males bawa mobil gue," jawab gue sambil memakai helm.

"Kenapa males?" tanya Adin lagi.

"Ya males aja Adin. Males juga gak butuh alasan, kan? Udah ahh! Yuk cabut," perintah gue sambil mulai menaiki motor Adin.

"Kenapa gak minta dijemput Devin?"

Sialan! Kenapa hari ini semua orang bisanya cuma buat gue kesal sih! Akhirnya gue memukul kepala Adin yang hendak memakai helm itu. "Banyak tanya lo. Udah ah buruan!"

"Nanya dikit salah, sensian lo! Lagian gak usah pake mukul juga kali." Gue dengar Adin masih menggerutu.

"Lo sebenernya ikhlas gak sih jemput gue?" tanya gue mulai kesal. Jujur gue kesal sekarang. Kenapa Adin harus banyak tanya sih? Gue tahu itu memang kebiasaannya, tapi seenggaknya untuk kali ini dia berhenti ngomel dulu dong. Omelannya cuma buat gue semakin pusing.

"Iya iya, gue ikhlas. Yuk berangkat."

"Dari tadi juga gue udah nyuruh berangkat kampret!" dengus gue.

Akhirnya Adin mulai menyalakan mesin motor dan mulai menjalankannya. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke kampus. Dan setelah sampai, gue langsung turun dan memberikan helm yang tadi gue pakai pada Adin lalu bergegas pergi.

"Makasih woy!" teriak Adin.

Gue tahu dia ingin gue mengatakan terimakasih padanya. Tapi, itu bukan gaya gue kalau harus langsung menuruti kemauan Adin.

Akhirnya gue menoleh menatap Adin. "Sama-sama!" ucap gue yang langsung kembali melangkah meninggalkan Adin. Gue dengar Adin menggerutu kesal sementara gue hanya cekikikan pelan sambil menutup mulut.

Saat gue berjalan ke arah kelas, gue tak sengaja berpapasan dengan Kak Juna yang tengah berjalan berlawanan arah dengan gue. Seketika senyum gue langsung mengembang ketika melihatnya.

"Ada kelas hari ini?" tanya Kak Juna.

Gue mengangguk sambil tersenyum. "Kak Juna juga?"

"Nggak. Kebetulan Kak Jun cuma mau ke perpus. Biasa, nyari referensi buat tugas," jawabnya sementara gue cuma ber-oh ria.

Teringat sesuatu, gue langsung kembali bertanya pada Kak Juna. "Oh, iya Kak. Semalem katanya Kak Jun mau ajak aku ke ultah sepupu Kak Jun. Tapi, kenapa di batalin?"

Dan dapat gue lihat kening Kak Juna berkerut samar. "Kak Jun nggak ngebatalin," jawabnya yang otomatis membuat gue langsung terlonjak kaget.

"Maksudnya?" tanya gue tak mengerti.

"Kan kamu sendiri yang ngebatalin Natt. Kamu ngirim pesan ke Kak Juna dan bilang gak bisa ikut. Ya udah, Kak Juna iya-in deh," serunya lagi.

Gue jadi bingung, gue merasa tidak pernah mengirimi Kak Juna pesan seperti itu. dan Devin juga bilang katanya Kak Juna yang menelepon lalu membatalkannya. Ini aneh!

Akhirnya gue membuka aplikasi pesan dan segera membuka pesan yang Kak Juna maksud. Dan ternyata benar, di situ jelas-jelas gue mengiriminya pesan untuk menolak ajakannya. Dan gue, berhasil bingung dibuatnya.

"Kenapa?" tanya Kak Juna membuat gue yang tengah melamun jadi sedikit gelagapan.

"Ah, nggak. Gak papa," jawab gue pelan sambil berusaha menyunggingkan senyum tipis.

Gue lihat Kak Juna tersenyum lalu mengacak pelan rambut gue. Itu memang kebiasannya sedari dulu, dan kebiasaannya itu yang mampu membuat jantung gue memompa lebih cepat dari biasanya.

"Kak Jun duluan, ya," serunya seraya melangkah pergi meninggalkan gue.

Gue masih bingung saat ini. Kapan gue mengirimi pesan itu pada Kak Juna? Akhirnya gue memilih untuk kembali mengingat kejadian semalam.

Pertama, Devin mengajak gue makan. Saat tengah makan, gue izin pergi ke toilet. Dan saat gue ingin pergi ke acara ulang tahun sepupu Kak Juna, Devin bilang Kak Juna menelepon dan membatalkannya. Tapi Kak Juna bilang, gue yang membatalkannya. Dan sebagai bukti, di ponsel gue terdapat pesan yang gue kirim pada Kak Juna yang berupa pesan untuk menolak ajakan Kak Juna. Berarti...

"DEVIN SIALAN!" gue langsung berteriak sangat keras hingga orang yang tengah berlalu lalang di dekat gue menatap gue dengan aneh. Tapi gue nggak perduli. Saat ini, yang gue butuhkan hanya penjelasan dari Devin. Maksudnya apa? Dia mencoba untuk membohongi gue? Dia benar-benar kurang ajar!


🍁🍁🍁



XOXO


FIHA IM



Comments

Popular posts from this blog

Renata Keyla

RENATA KEYLA [SS Series I] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma nge-judge orang dari covernya doang?!" "Natt! Gue bakal buktiin omongan gue. Dan pada saat semua omongan gue terbukti bener, jangan cari gue karna rasa bersalah lo itu. Karna setelah ini, gue udah gak ada di sisi lo lagi." ====== Nama gue Renata Keyla, lebih suka dipanggil Natt. Tapi, teman-teman gue lebih sering manggil gue Donat. Kenapa? Karena gue suka makan makanan itu. Ini tentang kisah gue, kisah perjalanan hidup gue. Tentang bagaimana cara gue dapat menemukan dia, seseorang yang berhasil membuat gue melabuhkan ha

Jangan Remehkan Impianku

Cerita ini ditujukan untuk orang yang bermimpi jadi seorang penulis, namun tak cukup percaya diri karena mendengar ucapan orang lain tentang menjadi penulis Selamat membaca❤ ️ 🍁🍁🍁 Hujan kembali mengguyur bumi. Kedatangannya membuat segelintir orang yang tengah berlalu lalang langsung berlarian untuk meneduhkan diri. Termasuk diriku. Aku yang tengah berjalan santai langsung berlari karena kedatangan hujan yang terlalu tiba-tiba. Beruntung aku berada tak jauh dari area kelas, sehingga aku kini dapat langsung berteduh di sana. Kuusap buku yang sedari tadi berada di genggaman. Ah sial, buku novelku jadi basah. Aku paling tak suka jika buku-buku milikku basah, karena itu tandanya aku tak bisa merawat buku. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan memasuki kelas. “Eh, lihat deh. Si kutu buku kehujanan tuh!” “Mampus! Bukunya jadi basah, kan?” “Lagian, kemana-mana selalu bawa buku.” “Ya

Nightmare

Cerpen ini aku ikutkan lomba menulis cerpen 2020 ke lombanuliscom . Tapi sepertinya aku ditipu karena semua akun penyelenggara lombanya hilang kontak. Dari mulai akun IG , FB, GOOGLE, bahkan akun WA nya pun dia tutup, huhu... Untuk kalian para pembaca maupun penulis yang suka ikut lomba-lomba di luaran sana. Harus pinter-pinter pilih penyelenggara lombanya loh ya, jangan sampai kena tipu. Poster lomba yang meyakinkan, ataupun akun sosmed yang meyakinkan juga nggak menjamin kalau lomba itu beneran asli. Karena aku pun awalnya yakin pada lomba ini karena dari poster edaran pun meyakinkan, akun sosmed banyak followersnya. Tapi ternyata semuanya nggak menjamin. Mereka hanya oknum picik yang mencari uang lewat hasil karya kita. Walaupun mungkin mereka tidak meminta uang secara langsung kepada kita, tapi karena karya kita yang dikirim kepada mereka tanpa hak cipta, mereka bisa saja seenaknya membukukan karya kita tanpa sepengetahuan kita, dan royalty tentunya 100 % untuk mereka. Sekedar